Irfan Sutia HAS 8 (Delapan) Tahun yang lalu |
Kamu kurang tepat mengikuti jejak ku?, kalau kamu paksa sama saja
membuang waktu sia-sia, ucapku .Aah... kamu ini cuma bisa menilaiku dari sisi
luar saja, aku sama sekali tidak tertarik seperti maksud dan tujuan mu,
tuturnya suatu pagi empat tahun yang lalu.
Memang benar, Kalau ku lihat postur tubuhnya sangat tidak sesuai dengan rutinitas
hari-harinya. Bahkan Menurutku dia sangat tepat menjadi keamana negara atau
Paspampres. Tubunya tegap, gagah dan berwibawa, ditambah dengan kebiasaan ramah
dan murah senyum.
Meskipun tidak sesuai, Dia tetap sahabatku, bagiku ianya termasuk dalam
katagori sahabat yang baik. Saat itu status Kami mahasiswa di salah satu
Universitas swasta di persisir pantai barat. Nama lengkapnya Randi Rauf (bukan
nama sebenarnya), saya biasa panggilnya rauf. Rauf adalah teman yang selalu
bersamaku saat dikampus. Meski rauf tergolong orang yang ramah, dia tidak
pernah bercerita tentang latar belakang kehidupan keluarganya.Saat libur
panjang meranjak semister empat kami tidak pernah berjumpa bahkan komunikasi
via handpon pun jarang.
Jarak yang jauh membuat aku harus menuggu aktif kuliah untuk bisa
berjumpa dengannya. Kampungnya tergolong sangat jauh dari kampus kui , apalagi
dengan kampungku. Suatu seketika, teman-teman satu ruangan dengan ku hadir
kekampus, melajutkan perjuangan menempuh semister ke empat. Beda halnya dengan
rauf, sudah satu minggu kuliah dia tidak pernah kelihatan. Nomor hp nya pun
sedang berada diluar jangkaun, rasa penesaran di hatiku terus terusik, bahkan
hari-hari yang kujalani merasa tidak lengkap tampa canda humorisnya. Aku
berupaya mencari informasi tentangnya, tapi aku kecewanya akibat tidak ada
satupun yang tahu informasi tentangnya.
Wajar, mereka tidak tahu, karena selama ini rauf cuma akrab dengan ku.
Ujarku dalam hati. Sebulan berlalu sudah sahabat yang ku tunggu tidak kunjung
datang. Hingga akhirnya merasa tak sabar menunggu. Ku coba tanyakan tentangnya
ke akademika kampus. Ternyata, dugaanku benar, ia sudah berhanti kuliah.
Instingku berkata, mungkin ucapanku waktu itu mulai merasuki pikiranya
untuk menjadi sesuatu yang selalu ku sampaikan padanya. Aah gak mungkin itu. Merasa belum menemukan
alasan, pertegahan semester, aku nekad pergi kerumahnya kira-kira 6 jam
perjalanan dari kampungku. Sebelumya aku sama sekali belum pernah datang
kerumahnya, padahal tiap hari sabtu dia selalu mengajaku main kekampungnya.
Merasa tidak ada kompas yang jelas mendeteksi rumahnya, hingga harus bertanya
setiap orang yang ku jumpai, alhasil tidak ada satu orang pun yang mengenali dengannya.
kesabaran ku sedang teruji lagi, kata hati, tidak boleh putus asa ''Barang
siapa yang bersunggu-sunggu pasti mendapat'' terigat ceramah ustad dikampungku
dibulan puasa lalu.Mata hari hampir mulai memerah pertanda gelap akan segera
datang, sambi ngopi sempat terfikir tidur dimana malam ini, sedangkan disini
tidak ada yang ku kenal. Tiba-tiba lewatlah kawan rauf , saat itu pernah datang
ketempatku bersamanya. tampa membuang waktu langsung ku ikutinya dari jarak
kejauhan. Honda yang dikendarainya Ternyata juga menuju ke rumah rauf. Saya
lansung menyapanya dengan senyuman sambil parkirkan honda didepan rumah yang
terbuat dari papan yang sudah mulai rapuh, beratap daun rumbia serta berlaskan
tanah. rumah yang ku maksud itu sangat jauh dari perkampungan.Tergambar kejutan
diwajah kawan rauf saat melihatku. ku samperin dan bersalaman dengannya. Apa
kabar adi? Baik dan sehat-sehat saja, jawabnya.
Ini rumah rauf kan? Tanyaku, ia jawabnya, dengan raut wajah berubah.
Dari luar rumah yang berukuran 6x6 kuperhatikan tidak ada gerak-gerik apapun
didalamnya, terlihat sunyi dan sepi. Dan rauf pun belum kelihatan.
Sambil beristirahat dibawah batang coklat samping rumah, Adi bercerita
pada ku, inilah gubuknya rauf. ( red. Terbisik dalam hatiku ''Padahal dia tau,
rumahku tak jauh beda dengan gubuk rauf”), lanjutnya, rauf sudah behenti kuliah
karena ibunya sakit, sedangkan ayahnya sudah meninggal 1 bulan yang lalu akibat
sakit seperti ibunya sekarang. kata orang, ayahnya mengidap penyakit kampung
(red, semacam diguna-guna), katanya, semasa hidup, ayahnya bisa dikatakan orang
yang cerdas dan suka mengkritik kesalahan kepala desa disini. Jelas adi padaku.
sekarang rauf sebagai tulang punggung keluarga, setiap hari dia harus
memberikan umpan bebek, milik orang yang dipeliharanya demi berobat ibunya dan
biaya sekolah adik perempuan yang duduk dibangku SMP. Urainya dengan nada sedih.
Kulihat kawanku rauf keluar Dari belakang rumah, segera ku hampiri dan
memeluknya sambil mengucapkan, sabar rauf, “Allah tidak memberikan cobaan diluar
batas kemampuan kita”, pasti kamu sanggup melawati cobaan ini. Tak
sanggup kutahan air mata ini jatuh dengan sendirinya. Eeh, cegeng sekali
kok, Ayok masuk rumah, ajaknya.
Adi juga mengikutiku dari belakang. Kulihat ibunya sudah tinggal kulit
dengan tulang, yang terbujur lemas di atas papan berlapis tikar biasa, tubuh
ibunya diselimuti dengan kain batik warna merah yang sudah pudar gambar
batiknya. Beginilah nasip kehidupan saya. ini ibu saya yang sudah 3 minggu
hanya bisa berkedip mata ditempat tidur, cerita rauf pada ku.
saya tidak lanjutkan kuliah lagi, namun saya ingin menitip cita-citaku
padamu kawan ''aku ingin melihat kamu jadi sarjana dihari kelak'' itulah
cita-cita ku. Tutur rauf padaku disaksikan oleh ibunya dan adi kawanya. Mulai
saat itu, aku tekun belajar untuk cepat- meraih sarjana.
“Ternyata masih ada yang lebih miskin dariku”, hingga tidak bisa
melanjutkan kuliah.
Inilah secuil cerita malam semoga bermafaat untuk pembaca.
Nelop Kaphe, 12 Maret 2013
Oleh : Irfan Sutia HAS
+ komentar + 1 komentar
"Allah tidak memberikan cobaan diluar batas kemampuan kita"
dan Tawakalah kamu, berserah diri,berharap hanya kepada pertolongan Allah....
jangan lupa Ikhtiar, upaya yang kita lakukan dengan maksimal yang dilandasi dengan ilmu dan Silaturrahmi.
Post a Comment